MillionBrainHub.com – Keluh Kesah Petani. Di kebun sederhana milik warga Parung Seah, suara jangkrik terdengar lebih aktif daripada suara dari Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Di sinilah Gagan, Syahrul, Rahmat, dan Sandi meluapkan suara yang selama ini hanya bergema di antara batang singkong dan tanah yang makin gersang.
Baca Juga : Walikota Atau Raja Kota? GMNI Sukabumi Raya Bersuara
“Tanah kami makin rusak. Mau kami rawat, tapi PPL ke mana? Turunnya setahun sekali kayak THR,” celetuk Gagan, sambil menunjuk tanah yang dulu subur, kini keras seperti birokrasi dinas.
Tiga Dekade Demi Kesuburan: Tapi Harapan Bisa Mati Lebih Cepat
Dalam obrolan yang diselingi tawa getir, para petani menyampaikan kenyataan pahit: dibutuhkan 30 tahun untuk memulihkan kesuburan tanah yang rusak. Tapi sayangnya, mereka tak yakin bisa menunggu selama itu.
“Kalau tanaman bisa nunggu 30 tahun, kami enggak. Anak butuh makan, bukan seminar pertanian,” ujar Rahmat.
Dulu mereka panen melimpah. Kini, bahkan panen cukup saja dianggap keberuntungan. Pertanyaannya sederhana, yang juga jadi keluhan bersama:
“Panen kami turun terus, PPL di mana? Dinas ke mana? Apa sibuk update Instagram hasil panen contoh?”
Jepang dan Cina Lindungi Petani, Indonesia Pilih Lindungi Cuan?
Gagan memancing perbandingan yang menyakitkan namun jujur:
“Cina dan Jepang bangga punya petani. Di sini, petani kayak beban subsidi. Kalau bisa, mungkin sudah diswastakan.”
Di Cina, alih fungsi lahan diatur ketat. Di Jepang, kebijakan pertanian dirancang jangka panjang. Sementara di Indonesia, alih fungsi lahan bisa cepat—asal surat lengkap dan yang jual bukan orang biasa.
“Tanah subur dijual ke pabrik. Nanti pemerintah kampanye soal ketahanan pangan. Lucu, tapi kok miris,” tambah Syahrul.
PPL: Penyuluh Pertanian Langka
Para petani menyadari, teknologi pertanian berkembang. Tapi semua itu tak ada gunanya jika penyuluh pertanian tidak turun ke lapangan. Bagi mereka, keberadaan PPL bukan sekadar formalitas laporan, tapi harapan teknis untuk menghadapi perubahan iklim, hama baru, hingga tanah rusak akibat pupuk berlebihan.
“Kita butuh ilmu, bukan cuma bantuan alat yang datang dua tahun sekali lalu hilang arah penggunaannya,” kata Sandi.
Mereka mendambakan penyuluh yang benar-benar hadir, bukan hanya muncul di baliho saat panen raya formalitas.
Penutup: Cinta Tanah Air, Tapi Kok Tanah Dibiarkan Mati?
Para petani di Parung Seah tak sedang minta belas kasihan. Mereka hanya menagih peran negara yang seharusnya menjaga mereka seperti Jepang dan Cina menjaga para petani mereka—bukan membiarkan mati pelan-pelan, lalu bilang itu risiko profesi.
“Kami ini petani. Kami bukan pengemis bansos. Kami hanya ingin tanah sehat, harga adil, dan negara yang ingat bahwa nasi itu datang dari ladang, bukan dari rapat anggaran,” pungkas Gagan.
Tonton Videonya : Cina dan Jepang Jaga Alam Cinta Petani, Indonesia Pilih Jaga Cuan Dan Bunuh Petani?