MillionBrainHub.com – Jika arsitektur bisa bicara, maka Pasar Pelita mungkin akan menangis sambil bertanya, “Aku ini pasar tradisional atau mal gagal fungsi?” Sebab, realitas yang ditemukan saat sidak ke lokasi bukan hanya soal keluh kesah pedagang, tapi juga komunikasi yang terputus antar pedagang dan pemerintah.
Baca Juga : Sales Leader Community: Bukan Ormas dan LSM Tapi Bermanfaat
Satu Pasar, Banyak Cerita: Dari Pedagang Cimol Hingga Pedagang yang Pindah Lagi ke Jalan
Pasar Pelita secara struktur sebenarnya cukup mentereng:
- Lantai Dasar: Pedagang “basah” — sayur, daging, sembako, aroma khas pasar sejati.
- Lantai 1: Pedagang pakaian yang biasa disebut “Cimol”. Bukan baju KW, tapi kelas menengah yang bertarung harga.
- Lantai 2: Hilang tanpa jejak.
- Lantai Atas: Biliar dan plank kantor yang bikin bingung — ini kantor dinas, tempat karaoke, atau basecamp Avengers?
Pedagang Minta Pedagang Masuk, Tapi Ada Pedagang yang Sudah Masuk, Malah Keluar Lagi
Ironi dimulai ketika pedagang lantai dasar justru berharap para pedagang yang masih berjualan di jalanan masuk ke dalam pasar.
“Kalau semua masuk ke dalam, pembeli pasti ngumpul di satu titik. Sekarang? Pembeli bingung, mau belanja sayur di luar atau di dalam,” ujar seorang pedagang yang sudah punya kios resmi.
Tapi kenyataannya? Ada juga pedagang yang sudah dapat Hak Guna Pakai (HGP) kios… malah balik berjualan di trotoar.
“Kenapa? Ya karena sepi, akses parkir susah, pembeli males naik tangga tanpa eskalator,” lanjutnya.
Pasar Modern Tapi Konsepnya Abad Lalu?
Keluhan lain datang dari pedagang lantai 1 (Cimol). Mereka membandingkan Pasar Pelita dengan pasar-pasar modern di kota lain yang menyediakan akses parkir per lantai, lift yang aktif, dan promosi berkala.
“Di sini parkirnya satu titik, jauh. Pembeli udah capek duluan sebelum sampai kios,” kata seorang pedagang fashion yang bajunya jauh lebih kekinian dari sistem pasar ini.
Dan yang paling logis? Saran mereka soal subsidi atau uji coba gratis untuk menarik pedagang masuk ke dalam.
“Coba kasih gratis dulu, tiga bulan kek. Setelah rame, baru dipungut biaya. Kan tidak semua pedagang bisa langsung bayar DP kios.”
Lantai 3: Kosong. Apakah Tempat Ini Butuh Dukun atau Manajer Marketing?
Mungkin hanya lantai tiga Pasar Pelita yang cocok dijadikan tempat kontemplasi. Kosong, sunyi, dan misterius. Apakah ini ruang meditasi pedagang yang gagal, atau bekas konsep food court yang tak pernah terealisasi?
Entah, tapi banyak yang bilang ruang itu bisa dimanfaatkan untuk pengembangan UMKM atau area komunitas — daripada jadi gudang debu.
Penutup: Pasar Bukan Sekadar Gedung, Tapi Alur Ekonomi Rakyat
Pasar Pelita adalah contoh klasik pembangunan yang bagus dari luar tapi ragu-ragu dalam sistem. Bangunan kokoh, tapi akses buruk. Pedagang masuk, tapi pembeli hilang arah.
Sidak ini membuka satu hal: rakyat mau masuk, asal ada alasan logis untuk masuk.
“Pasar itu denyut ekonomi. Tapi kalau denyutnya makin lemah, ya lama-lama mati suri,” kata salah satu pedagang sambil melipat lapaknya yang hari itu hanya dapat dua pembeli.
Tonton Video Lengkapnya Disini : Trotoar Dan Bahu Jalan Lebih Laris dari Pasar Pelita? Cerita Ironi Pusat Kota Sukabumi!