MillionBrainHub.com – DPR RI kembali menorehkan sejarah—atau lebih tepatnya, mengubahnya—dengan mengesahkan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sidang paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPR, Puan Maharani, yang didampingi oleh Wakil Ketua DPR seperti Sufmi Dasco Ahmad, Adies Kadir, dan Saan Mustopa, menyaksikan momen bersejarah yang akan mengubah beberapa tatanan dalam hubungan sipil dan militer.
Baca Juga : Pengumuman SNBP 2025, Tanggal Penting Yang Perlu Diketahui!
“Apakah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” tanya Puan, seolah-olah masih ada keraguan dalam hatinya mengenai jawaban yang akan terucap.
“Setuju,” jawab peserta rapat, tanpa ekspresi.
Revisi ini, yang jelas menuai berbagai protes—entah karena kesiapan mental atau justru ketidaksiapan untuk perubahan tersebut—melibatkan empat poin utama yang seolah sengaja ditulis untuk memicu perdebatan. Bagi mereka yang menentang, ini adalah “keberanian” berlebih dari DPR. Sementara bagi yang mendukung, ini adalah “langkah maju” bagi TNI untuk merangkul realitas dunia modern. Setiap sisi punya argumennya sendiri.
Berikut adalah empat hal penting yang tak bisa diabaikan dalam revisi UU TNI yang baru disahkan:
1. Kedudukan TNI: Perang Tetap di Bawah Presiden, Tapi Koordinasi di Kementerian Pertahanan
Tak perlu khawatir, meski pasal mengenai kedudukan TNI berubah, soal pengerahan kekuatan militer tetap berada di bawah presiden. Namun, kini strategi pertahanan dan dukungan administratifnya akan berada dalam koordinasi Kementerian Pertahanan. Bisa dibilang, TNI tetap di bawah perintah presiden, tapi administrasinya dipindah sedikit ke “kantor sebelah.”
2. Tugas Pokok TNI: Dari Perang ke “Serangan Siber” dan Penyelamatan Warga Negara
Tugas TNI kini tak hanya berurusan dengan perang, tetapi juga ikut terjun dalam dunia maya. Pasal 7 ayat (15) menambahkan tugas TNI untuk membantu mengatasi ancaman siber. Jangan kaget, nanti yang jaga server negara bisa jadi tentara. Tak cukup itu, TNI juga akan membantu menyelamatkan warga negara Indonesia di luar negeri, jadi jika ada krisis internasional, Anda bisa berharap tentara akan tiba dengan cepat—meski kadang lebih lambat dari pesan WhatsApp.
3. Jabatan Sipil: TNI Aktif Kini Bisa Menjabat di Kementerian Sipil—Tapi Hanya 14
Salah satu perubahan paling menyedot perhatian adalah tentang jabatan sipil untuk prajurit aktif. Dulu, seorang anggota TNI harus pensiun atau mengundurkan diri terlebih dahulu untuk bisa menduduki jabatan sipil. Kini, mereka bisa langsung merambah 14 kementerian/lembaga. Mulai dari urusan pertahanan negara hingga lembaga ketahanan nasional. Meski begitu, jika TNI aktif ingin melenggang di luar daftar tersebut, mereka harus pensiun dulu. Sebuah langkah cerdik untuk memastikan TNI aktif tidak terlalu “nyaman” berada di dunia sipil, meski kadang kita berpikir: “Apakah ada yang bisa lebih nyaman dari kursi kementerian?”
4. Usia Pensiun: Batasan Baru yang Lebih Fleksibel—Untuk Beberapa Bintang
Ada yang bilang, usia hanyalah angka—dan kini, bagi TNI, angka itu bisa diperpanjang sesuai kebutuhan. Pasal 53 memanjangkan usia pensiun prajurit sesuai pangkat mereka. Bintara dan tamtama bisa pensiun di usia 55 tahun, sementara perwira tinggi bisa menikmati posisi mereka hingga usia 62 tahun, atau bahkan 63 tahun bagi bintang 4, yang dapat diperpanjang dua kali lagi. Tentunya, semua ini dengan harapan bahwa semakin tua, semakin bijak—meskipun itu bisa berakhir dengan sedikit lebih banyak strategi daripada aksi.
Penutup: Apakah Ini Kemajuan atau Kembali ke Masa Lalu?
Revisi UU TNI ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal kekuasaan. Dalam dunia yang semakin kompleks, pertanyaan apakah ini langkah maju atau justru kembali ke dwifungsi ABRI masih menggelayuti banyak pikiran. Satu hal yang pasti: perdebatan ini baru saja dimulai. Sementara itu, kita bisa menyaksikan, apakah tentara yang dulunya bertugas di medan perang kini akan lebih sering ditemukan di ruang rapat sipil. Yang pasti, semakin banyak “perang” yang akan mereka hadapi—meski bukan lagi di medan tempur, tapi dalam bentuk kebijakan dan regulasi yang terus berubah.
Inilah yang disebut: sebuah undang-undang yang tidak hanya mengatur tentara, tapi juga mengatur jalan kita menuju masa depan—apakah itu masa depan yang penuh perang atau masa depan yang penuh dengan jabatan sipil?
Tonton Juga : Kok Bisa IPM CianjurTerendah? Gak Malu Pemimpinnya? | Calon Wanita Pertama Di Cianjur Bisa Apa?