Konsep Pasar Dan Kepemudaan, Obrolan Panas Depan Balai Kota Sukabumi

Dedi Mulyadi, Ayep Zaki, Bobby Maulana

MillionBrainHub.com – Suasana depan Balai Kota Sukabumi akhir pekan ini mendadak seperti talkshow live bertajuk “Ngopi Bareng Rakyat, Tapi Serius!”. Bukan tanpa alasan, diskusi panas dipantik oleh pertanyaan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang melontarkan topik klasik tapi tetap seksi: konsep pengelolaan pasar dan kepemudaan.

Baca Juga : Keluh Kesah Pedagang dan Pembeli Pasar Sukabumi: Ingin Nyaman, Malah Dapat Bau dan Macet

Dalam video yang viral—tentu karena tidak diedit seperti kampanye—Wali Kota Sukabumi, Ayep Zaki, mengusulkan agar pengelolaan pasar dikembalikan ke pangkuan Pemda. Mungkin karena sudah terlalu lama “dipangku” pihak lain, termasuk—kata netizen—kelompok yang biasa pakai singlet sambil nyender di pojok pasar.

Pasar Tradisional: Romantis, Tapi Banyak PR

Dalam podcast spesial yang menghadirkan tiga narasumber, muncul beragam tanggapan yang tak kalah tajam.

Dedi, seorang aktivis, menilai bahwa pasar di zaman now tidak cukup hanya dikelola pemerintah atau swasta, tapi harus memiliki konsep unik. “Pasar itu bukan cuma tempat jualan, tapi bisa jadi pusat kebudayaan ekonomi rakyat. Hari ini kita harus jujur, sebagian pasar masih ‘dikelola preman’. Pemerintah harus berani membersihkan.”

Galih, seorang pemuda yang katanya bukan dari organisasi mana pun (dan bangga akan itu), membandingkan pasar di Sukabumi dengan beberapa pasar tradisional di Bandung. “Itu ramai, hidup. Trafiknya tinggi. Ada inovasi. Di sini? Lihat saja sendiri.”

Sementara itu, Sandi, Ketua DPC PAPERA Kota Sukabumi, lebih tajam dari sambal cobek emak-emak. Ia menyoroti peran dinas-dinas yang menurutnya seperti tukang foto copy: “Cuma buat perencanaan, penyerapan, dan laporan? Anak SMA juga bisa. Kalau semua dilempar ke Wali Kota, ngapain ada dinas?”

Bobby Maulana dan Pemuda: Antara Festival dan Portofolio

Selain urusan pasar, obrolan panas depan Balai Kota juga menyasar Wakil Wali Kota Sukabumi, Bobby Maulana, yang mengaku ingin melibatkan pemuda dalam pembangunan kota. Katanya, baru 20% pemuda yang terlibat, dan untuk meningkatkan partisipasi, ia berencana menggelar festival, konser, dan membentuk tim vlog dari pemuda-pemudi berbakat.

Namun, Galih kembali mempertanyakan retorika angka: “20% itu 20% yang mana? Jangan ukur dari pemuda yang hanya di KNPI atau organisasi. Banyak pemuda kreatif di luar itu yang nggak pernah diajak bicara. Dulu waktu kampanye, kami dikejar-kejar. Sekarang?”

Dedi mengangguk setuju, dan Sandi menambahkan dengan gaya khasnya: “Pemuda itu nggak perlu dana besar. Mereka jalan ke kota lain, lihat yang keren, pulang bawa ide, langsung bikin. Mereka nggak butuh seremoni. Mereka butuh diajak diskusi, bukan cuma dijadikan objek politik.”

Catatan Akhir: Konsep Bukan Sekadar Wacana

Diskusi hangat ini menjadi pengingat bahwa pasar dan pemuda bukan sekadar tema debat dadakan. Di tengah dinamika kota Sukabumi, konsep pasar harus kembali menjadi prioritas—bukan hanya perbaikan fisik, tapi pembersihan mentalitas pengelola dan dinas terkait.

Pun soal pemuda, jangan jadikan mereka hanya alat panggung politik. Mereka butuh ruang, bukan seremonial.

🎥 Tonton video lengkap perbincangan “Obrolan Panas Depan Balai Kota” di sini: [Link video]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *